Saturday 26 July 2008

(ilmu) Sedikit Soal Terorisme

Terorisme berasal dari kata terrere atau terror (latin), yang berarti membuat rasa takut yang mencekam; keadaan yang menakutkan; kegentaran. Teror sebagai kata benda mempunyai arti sebuah ketakutan yang amat sangat (extreme fear); kemampuan untuk menimbulkan ketakutan. Dalam bentuk kata kerja transitif,  terrorize artinya mengancam atau memaksa dengan teror atau dengan ancaman teror (to intimidate or coerce by terror or by threats of terror). Didalam kamus Webster’s New School and Office Dictionary, disebutkan bahwa teror memang terkait dengan dengan kepentingan kekuasaan atau politik. Teror (kata sifat) dijelaskan sebagai penggunaan kekerasan secara sistematis. Seperti pembunuhan yang dilakukan sekelompok atau segolongan orang untuk memelihara, menegakkan, atau mengurus kekuasaan, mempromosikan kebijakan politik, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan terorisme (kata kerja) adalah upaya-upaya yang dapat menimbulkan teror.

Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, para teroris kemudian ikut menyesuaikan diri dengan alat-alat dan fasilitas yang tersedia. Pada mulanya, para teroris melakukan aksi teroris dengan penculikan, penyanderaan, penyelundupan, sabotase, penyerangan bersenjata, dan pembunuhan, namun seiring dengan perkembangan teknologi, terorisme modern melakukan aksinya dengan peralatan yang lebih canggih dan berbahaya, serta menimbulkan korban jiwa yang jauh lebih banyak.  Salah satu contoh penggunaan aksi teror modern ini dapat dilihat pada apa yang dilakukan oleh teroris Jepang Aum Shirinkyo pada tanggal 20 Maret 1995, di stasiun kereta api bawah tanah Kasumigaski Tokyo. Mereka menggunakan gas saraf Sarin yang mengakibatkan 12 orang tewas dan ribuan lainnya luka-luka.

Aksi terorisme modern juga dapat dilihat pada aksi pembajakan pesawat Boeing 707 rute Roma-Tel Aviv pada tanggal 22 Juli 1968 yang dilakukan oleh PFLP (The Popular Front for the Liberation of Palestine), hal yang sama terjadi di Indonesia, ketika pesawat Vickers Ciscount  milik Merpati Nusantara Airlines dibajak pada tanggal 4 April 1971, dan pada tanggal 28 Maret 1981 ketika pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia dengan rute penerbangan Palembang-Medan dibajak dan dipaksa mendarat di Penang hingga ke bandara Don Muang di Bangkok. Namun tentu saja aksi terorisme yang paling menggegerkan dunia internasional adalah tragedi yang menimpa World Trade Centre di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001. Semenjak kejadian tersebut, terorisme internasional telah menjadi ancaman nyata bagi dunia.

Sementara pada lingkup global, kemajuan teknologi dan penyebaran informasi membuat batas-batas negara menjadi semakin kabur. Fenomena yang terjadi di suatu negara dapat diketahui dan berpengaruh terhadap negara lainnya.  Hal ini amat berpengaruh terhadap penyebaran terorisme itu sendiri. Pengaruh yang ingin ditanamkan oleh aksi terorisme tersebut mendapatkan dukungan penyebaran dari media massa maupun internet.

Hal ini dapat dilihat pada Tragedi Bom Kuta Bali di Indonesia pada tanggal 12 Oktober 2002, atau hanya berselang kurang dari setahun Tragedi WTC, dimana korban yang meninggal adalah mayoritas warga asing. Kemudian pada tanggal 5 Agustus 2003, dimana bom meledak dan menghancurkan sebagian lobi hotel JW Marriot di Jakarta, disusul oleh pemboman Kedubes Australia pada tanggal 9 September 2004.  Indonesia sebagai negara yang amat heterogen dari segi kemajemukan penduduk, tentulah amat rawan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh terorisme.

Pasca tragedi 11 September 2001, muncul pertanyaan penting bagaimana merumuskan langkah-langkah untuk mengantisipasi aksi terror terutama dalam kerangka perluasan jaringan terorisme internasional berdasarkan paradigma baru. Meluasnya fenomena perang global terhadap aksi terorisme, yang kemudian lebih difokuskan pada upaya menumpas jaringan Al Qaeda, juga mengimbas ke kawasan Asia Tenggara. Fokus perhatian kemudian ditujukan kepada negara-negara di Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia.

Terorisme, sebelum tragedi 11 September, bukan merupakan sitilah lazim yang digunakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam merujuk pada kelompok-kelompok yang menggunakan aksi kekerasan melalui jalan terror, kelompok-kelompok tersebut lebih dikenal sebagai gerakan separatism (separatist atau rebellion movement) yang biasanya memiliki tujuan untuk memisahkan diri dari negara yang berdaulat dan kelompok-kelompok radikal/militan/ekstremis yang merujuk pada dasar perjuangan yang diambil, baik dari ideologi, agama, maupun dari etnis tertentu.

Sebuah survey pernah mencatat bahwa sepanjang tahun 1984-1996, kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang paling sedikit mengalami insiden yang berasal dari gerakan kaum teroris. Jumlah total hanya sekitar 186 insiden, sedangkan di kawasan Eropa Barat sekitar 2073 insiden, 1621 di Amerika Latin, 1292 di Asia Barat dan 62 di Afrika[1]. Namun berdasarkan data yang dikeluarkan Kementrian Luar Negeri AS sampai menjelang tragedi 11 September, tercatat 4 kelompok di kawasan Asia Tenggara yang dikategorikan sebagai organisasi teroris internasional, yaitu Khmer Merah dengan basis Kamboja, dan 3 kelompok berbasis Filipina, yaitu Abu Sayyaf Group (ASG), Alex Boncayao Brigade (ABB) dan New People’s Army (NPA)[2]. Kemudian pada tanggal 5 Oktober 2001, beberapa saat setelah tragedi 11 September, kementrian Luar Negeri AS hanya memasukkan nama Abu Sayyaf sebagai kelompok teroris asal kawasan Asia Tenggara[3].

Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, terorisme mengalami evolusi. Sebelumnya, terorisme lebih banyak dikaji dalam low-intensity conflict, yang umunya berkaitan erat dengan stabilitas domestik sebuah negara[4]. pada perkembangannya kemudian, terorisme meluas dan melibatkan juga kelompok-kelompok subnasional dan kelompok primordial dengan membawa elemen radikalisme (seperti agama atau agenda politik lainnya), yang menciptakan rasa tidak aman (insecure), tidak hanya pada lingkup domestik, namun juga melampaui batas-batas wilayah kedaulatan. Hal ini antara lain juga disebabkan oleh kenyataan bahwa terorisme semakin melibatkan dukungan dan keterlibatan serta jaringan pihak-pihak dari luar batas sebuah negara.

David C. Rapoport (2001) menyatakan bahwa terorisme yang mengemuka saat ini merupakan bagian dari “terrorisme gelombang keempat” (the fourth wave of terrorism), yang berbeda dari gelombang terorisme terdahulu[5]. Selama ini kurun waktu 1880-an hingga 1920-an, kelompok teroris gelombang pertama berusaha memenangkan reformasi politik sipil dari pemerintahan otoriter, seperti pemerintahan Tsar Rusia. Pada masa kelompok teroris gelombang kedua, yang marak pada kurun waktu 1920-an hingga 1960-an, berkembang kelompok-kelompok yang berusaha memperjuangkan national self-determination, seperti Tentara Pembebasan Irlandia Utara. Gelombang ketiga kelompok teroris mulai muncul tahun 1970-an dengan karakteristik yakni umumnya berideologi kiri revolusioner seperti Brigade Merah (Red Brigades) dan Japanese Red Army. Kelompok teroris gelombang ketiga ini menganggap dirinya sebagai pembela kepentingan negara dunia ketiga terhadap kekuatan kapitalisme global. Sebagaimana kelompok teroris generasi ketiga, kelompok terorisme gelombang keempat digerakkan oleh sebuah keyakinan ideologi tertentu, seperti ideologi revolusioner atau dorongan relijius.

Hal yang membedakan kelompok teroris generasi keempat dengan generasi-generasi sebelumnya adalah bahwa teroris generasi keempat tidak ragu untuk menjadikan warga sipil sebagai target aksi kekerasannya. Selain itu, karakteristik lain yang bisa ditambahkan terhadap teroris generasi keempat adalah bahwa kelompok itu tidak berusaha menguasai wilayah tertentu dan bekerja lebih banyak pada level global, bukan pada level nasional[6]. kemudian, terror setidaknya bergerak dalam tiga cara[7]. Pertama, ia meniadakan hubungan antara target yang dijadikan kekerasan dengan alasan penggunaan kekerasan tersebut, karena ia tidak membedakan lagi target combatant dan non-combatant. Kedua, sejak terorisme bisa menyerang siapa saja dan dimana saja, ia merampas rasa keamanan dan kepastian yang seharusnya dimiliki oleh setiap masyarakat dan dijamin melalui fungsi paling minimal dari negara, yakni perlindungan bagi setiap warga negaranya. Terakhir, karena situasi tidak normal yang ditimbulkannya, aksi terorisme mampu mengubah sebuah masyarakat yang sedang menangisi korban teror menjadi sebuah masyarakat yang kemudian menggunakan kekerasan sebagai tindakan balasan.




[1] Wan Ahmad Farid bin Wan Salleh, “Terrorism in Southeast Asia: How Real is Threat?”, dalam The Indonesia Quarterly, vol XXX/1, First Quarter 2002, hal 38
[2] “A list Of International Terrorist Organizations considered by the U.S. State Departement to be active during the last five years” diakses dari http://www.cdi.org/terrorism/terrorist-group.cfm
[3] “Department of State Report on Foreign Terrorist Organizations Considered by the Office of the Coordinator for Counter-Terrorism October 5 2001”, lampiran dalam Noam Chomsky, 9-11, (New York; Seven Stories Press, 2002)
[4] Lihat misalnya V.K. Sood, “low intensity conflict ; the source of third-world instability”, dalam studies in conflict and terrorism, vol. 15/4, thn. 1992
[5] Dikutip dalam Kumar Ramakhrisna, 911, American Praetorian Unilateralism and the Impact on State-Society Relations In Southeast Asia – Working Paper, (Singapore: Institute of Defence and Strategic Studies, 2002, hal. 4). Lihat juga Roger Medd dan Frank Goldstein, “International Terrorism on The Eve of A New Millenium”, dalam Studies in Conlict and Terorism, vol.20/3, thn 1997, hal.281-316.
[6] Lihat Lawrence Freedman, “A New Type of  War”, dalam K. Booth dan Dunne, T (eds), Worlds in Collision: Terror and The Future of Global Order, (New York: Palgrave Macmillan, 2002), hal. 37-38
[7] Chaiwat Satha-Anand, “Mitigating The Success of Terrorism with The Politics of Truth and Justice”, dalam Uwe Johannen, September 11 and Political Freedom: Asian Perspectives. Singapore: Select Publishing, 2003, hal. 30-33