Saturday 26 June 2010

(artikel) Prospek Militer Indonesia-Afrika

PENDAHULUAN
Pasca pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Mesir langsung menindaklanjuti hal ini dengan mengadakan rapat para menteri Luar Negeri negara-negara anggota Liga Arab. Hal ini berbuntut dengan dikeluarkannya resolusi pengakuan kemerdekaan RI sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh pada tanggal 18 November 1946. Hal ini menjadi salah satu pengakuan de jure pertama Indonesia di mata dunia Internasional.
            Namun, untuk memberitahukan hasil resolusi ini bukanlah hal yang mudah. Sekjen Liga Arab saat itu mengutus Konsul Jenderal Mesir di India menuju Indonesia. Akhirnya pada tanggal 15 Maret 1947, setelah melewati berbagai rintangan dan perjalanan panjang dari Belanda, ia berhasil masuk dan diterima secara kenegaraan di ibu kota RI saat itu, Yogyakarta. Tindakan yang dilakukan LIga Arab, khususnya Mesir  ini terus dilanjutkan hingga meja Dewan Keamanan PBB. Hal ini kemudian ditanggapi oleh Indonesia dengan membuka Perwakilan RI di Mesir.
            Tahun 1956, setelah aneksisasi oleh Inggris, Perancis, dan Israel di Mesir, akhirnya Majelis Umum PBB meminta penarikan pasukan asing tersebut dari Mesir. Indonesia yang ikut mendukung hal ini kemudian untuk pertama kalinya mengirim Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB ke Mesir, selain sebagai salah satu bentuk balas budi. Pasukan ini kemudian diberi nama Kontingen Garuda I atau KONGA I.
            Melalui salah satu bentuk kepercayaan yang diberikan oleh PBB ini terus berlanjut dengan pemgiriman pasukan KONGA II ke Kongo pada tahun 1960 hingga 1961. Khusus untuk pengiriman pasukan kedua ini, merupakan sebuah awal dari peluang kerjasama militer yang nantinya akan terjalin antara Indonesia dan beberapa negara di kawasan Afrika. Apalagi dengan beberapa operasi susulan yang kembali menempatkan pasukan Indonesia di berbagai negara di Afrika. Misalnya, KONGA X ke Namibia pada tahun 1989, KONGA XIII ke Somalia pada tahun 1992, KONGA XVI ke Mozambik pada tahun1994, KONGA XIX ke Sierra Leone pada tahun 1992, KONGA XX ke Kongo dimulai dari tahun 2003, KONGA XXI di Liberia dimulai dari tahun 2003, dan terakhir adalah KONGA XXII di Sudan pada tahun 2008.

PEMBAHASAN
            Pada masa jaya militer Indonesia, pemgiriman pasukan sebagai Kontingen garuda bisa mencapai ribuan personel. Baik dari prajurit, perwira, maupun medis. Misalnya saja KONGA II yang dikirim ke Kongo mencapai 1.074 personel. Hal ini dimungkinkan selain karena jumlah pasukan militer Indonesia saat itu yang terbilang cukup banyak, juga karena Indonesia yang saat itu tengah gencar mencari perhatian dunia internasional.
            Melalui sektor pertahanan dan keamanan inilah Indonesia pertama kali memiliki nama yang disegani oleh negara-negara lain. Selain itu, sektor ini turut mendukung hubungan bilateral dengan negara-negara lain, khususnya negara-negara berkembang dan negara yang baru saja merdeka saat itu. Indonesia dianggap sebagai negara yang mampu dijadikan sebagai sahabat baik dengan kemampuan Indonesia menjamin keamanan di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, apalagi di dalam negeri sendiri. Berkat rasa hormat dan segan yang dimiliki oleh Indonesia, menimbulkan kepercayaan diri Indonesia untuk mengusahakan dan mendorong terbentuknya berbagai organisasi dan konferensi regional dan dunia, seperti GNB, KAA, Asean, dll. Pembentukan organisasi-organisasi ini semakin memperkuat sekaligus memperluas jaringan diplomasi Indonesia ke berbagai negara. Khususnya negara-negara Asia-Afrika.

1.      Kondisi Keamanan di Afrika
Ketika mengasosiasikan sebuah benua yang penuh dengan konflik, Afrika adalah hal pertama yang akan terbayang. Hal ini tidaklah salah mengingat konflik yang terjadi dunia sebagian besar adalah milik Afrika. Mulai dari masalah perbatasan, ekonomi, kesenjangan sosial, kekuasaan dan politik, etnis dan agama, hingga masalah ideologi. Dan jumlah korban yang ditelan tidak tanggung-tanggung. Misalnya saja, untuk perang etnis di Rwanda memakan korban hingga 1 juta lebih korban jiwa.
Perang yang telah ada semenjak ribuan tahun ini telah terjadi atau masih terjadi di seluruh Afrika. Pelakunya pun terus berubah, bertambah atau berkurang. Di mulai dari zaman kerajaan yang melibatkan kerajaan-kerajaan masa lampau, masa kolonialisme melawan bangsa Eropa, hingga kini menjadi perang sipil antara orang-orang Afrika atau antar negara.
PBB sebagai organisasi dunia yang berperan sebagai polisi dunia melakukan berbagai upaya dalam membantu pemulihan keamanan dan stabilitas dalam negeri di berbagai belahan Afrika. Ratusan ribu bahkan jutaan pasukan penjaga perdamaian telah diturunkan untuk membantu menciptakan kondisi tersebut. Diantara beberapa negara-negara yang diminta berperan sebagai pasukan penjaga perdamaian di Afrika adalah Indonesia.

2.      Kekuatan Militer Indonesia Era Soekarno
Salah satu informasi yang cukup sulit dikumpulkan pada era perjuangan menjaga kemerdekaan adalah jumlah pasukan Indonesia saat itu. Selain karena memang saat itu Indonesia belum memiliki pasukan resmi, juga dikhawatirkan jika nantinya akan terjadi kesalahpahaman dengan pihak Belanda saat itu. Karena jika sampai pasukan nasional mulai dibentuk akan timbul kekhawatiran orang Belanda yang masih berada di Indonesia dengan adanya kesan bahwa Indonesia menyiapkan diri untuk memulai serangan kepada pihak sekutu. Hasilnya adalah BKR baik di pusat maupun di daerah berada di bawah wewenang KNIP dan KNI Daerah dan tidak berada di bawah perintah presiden sebagai panglima tertinggi angkatan perang. Selain itu, BKR juga tidak berada di bawah koordinasi Menteri Pertahanan. BKR hanya disiapkan untuk memelihara keamanan daerah setempat.
Namun jumlah pasukan yang nantinya akan menjadi pasukan resmi Republik Indonesia dapat sedikit diketahui dengan membandingkannya dengan berbagai jenis pasukan yang dibentuk Jepang dan Belanda. Hal ini terlihat dari jumlah pasukan Heiho, PETA, dan KNIL. Pada awalnya, Heiho merupakan pasukan yang dibentuk oleh Jepang sebagai tenaga kasar untuk membantu Jepang menghadapi pasukan sekutu. Namun seiring terdesaknya Jepang di daerah sekitar Indonesia, akhirnya Heiho mulai dilatih menggunakan senjata. Bahkan, Heiho sempat diturunkan di Burma dan Morotai. Pasca kekalahan Jepang, Heiho yang berjumlah sekitar 42.000 orang saat itu ikut dibubarkan. Sebagian besar pasukan Heiho saat itu terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hingga akhirnya mantan anggota-anggota Heiho ini diserap oleh BKR.
PETA merupakan salah satu pasukan yang memiliki latar belakang pembentukan yang sangat kental dengan nuansa politik. Hal ini dapat dilihat dengan cara Jepang yang membuat seolah-olah pembentukan pasukan ini bertujuan untuk melindungi Indonesia, bukan Jepang. Padahal, diketahui bersama bahwa pembentukan PETA pada tahun 1943 memiliki tujuan utama untuk melindungi kepentingan Jepang di Indonesia. PETA pasca jatuhnya Jepang ikut dibubarkan yang kemudian dan sempat tidak dimasukkan kedalam pasukan nasional. Hal ini terkait dengan ketakutan Sokearno jika tentara PETA akan dijadikan perpanjangan tangan Jepang. PETA menjadi bagian dari pasukan nasional setelah BKR berganti menjadi TKR.
Koninklijk Nederlands-Indisch Leger atau KNIL  adalah pasukan yang dibentuk pasca Perang Diponegoro oleh Belanda, tepatnya pada tahun 1826 hingga 1827. 4 Desember 1830, pasukan ini kemudian menjadi salah satu kesatuan pasukan di Hindia Belanda. Yang kemudian disahkan secara resmi oleh Raja Belanda saat itu, Willem I pada tahun 1836. Diperkirakan, pada tahun 1936 jumlah KNIL meningkat melebihi 50.000 orang, dengan sebanyak 33.000 orang atau sekitar 71% adalah warga pribumi. Setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda pada tahun 1950, jumlah KNIL saat itu mencapai 60.000 orang.
Setelah seluruh elemen ini berhasil disatukan dan membentuk pasukan nasional Indonesia, kini Indonesia memiliki kekuatan militer yang tidak dapat diremehkan. Selama masa kepemimpinan Soekarno, militer Indonesia termasuk unggul di kawasan Asia. Pembuktian yang paling terlihat adalah pada Operasi Mandala. Dengan beberapa peralatan yang dipinjam maupun berhasil dibeli, Indonesia bahkan sempat dianggap sebagai negara aggressor. Misalnya saja KRI Irian yang menjadi momok menakutkan bahkan bagi Belanda. Atau kapal carrier milik Uni Soviet yang dipinjam selama masa pembebasan Irian Barat.

3.      Kekuatan Militer Indonesia Era Soeharto
Agak berbeda dengan pandangan Soekarno yang memperkuat militer di cabang udara dan laut, Soeharto justru memperkuat pasukan angkatan darat dengan memberi latihan gabungan dengan pihak asing sesering mungkin atau terus memperbaharui persenjataan. Tentu saja hal ini tidak lepas dari asal Soeharto sebagai pasukan darat. Namun, hal yang substansial terkait masalah ini adalah kondisi dalam negeri saat itu yang memaksa Soeharto. Diketahui bersama bahwa saat itu, ketika penyerahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto terkait dengan PKI. Langkah-langkah revolusi yang dilakukan PKI membuat pasukan darat harus bekerja ekstra keras dan membutuhkan kemampuan tempur serta peralatan yang jauh lebih baik.
Kemudian pada era Soeharto pasukan nasional Indonesia menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan di masa inilah segudang prestasi pasukan darat berhasil dicapai, dalam maupun luar negeri. Kemudian bermunculanlah pasukan-pasukan khusus seperti KOPASSUS, Baret Hijau, Paskhas, dll. Di masa ini Indonesia menjadi “Macan Asia” melalui kemampuan militernya. Jumlah pasukan saat ini bahkan mencapai lebih dari 500.000 personel dengan persenjataan yang senantiasa diperbaharui khususnya angkatan darat.

4.      Kekuatan Militer Indonesia Era Reformasi
Berakhirnya orde baru membuat kekuasaan Soeharto turun, yang berarti pasukan darat harus bersiap tidak menjadi kesayangan negara lagi. Terbukti pada era reformasi pendanaan militer Indonesia turun dari sekitar US$ 3,3 miliar menjadi US$ 2,5 miliar. Dengan personil di tahun 2009 mencapai 400.000 orang. Selain itu terjadi beberapa kemunduran-kemunduran kemampuan militer Indonesia. Mulai dari kendaraan tempur yang tidak terawat, pasukan yang semakin “lemah” jika dibandingkan dengan negara tetangga lain. Entah dari segi perlengkapannya maupun kemampuan perangnya.
Meskipun terjadi berbagai hal negatif bagi kondisi militer Indonesia selama masa reformasi, pemerintah terus berusaha meningkatkan kinerjanya. Melalui janji-janji yang dikeluarkan selama kampanye, para penguasa berusaha menarik suara rakyat. Walaupun setelah terpilih belum terlihat perubahan yang signifikan.

5.      Peluang dan Tantangan Hubungan Indonesia dan Afrika dalam Sektor Militer
 Tercatat telah delapan kali Indonesia ikut menyumbangkan bantuan pasukannya sebagai bagian dari pasukan penjaga perdamaian di Afrika. Mulai dari Kongo, Namibia, Mozambik, Somalia, Sierra Leone, dan yang terbaru Sudan. Pada masa Soekarno dan Soeharto, KONGA menjadi kebanggaan dalam negeri yang mampu mendongkrak kepercayaan diri bangsa Indonesia. jika dilihat dari sudut pandang yang cukup berbeda, Indonesia menggunakan momen ini untuk memamerkan kekuatan tempur Indonesia di mata dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dengan pengiriman KONGA I yang sangat beresiko dengan kondisi dalam negeri. Masalahnya, saat itu sedang marak pemberontakan dan gerakan-gerakan sporadis di Indonesia, mulai dari menuntut keadilan di pusat hingga kemerdekaan.
Kedatangan KONGA di Afrika mendapat sambutan yang baik, dari negara-negara Eropa maupun Afrika. Secara psikologis, bagi Eropa hal ini akan membuat mereka mampu “beristirahat” pasca Perang Dunia dan meringankan beban mereka selama Perang Dingin. Sementara bagi orang-orang Afrika, Indonesia l;ebih mampu diterima sebagai pasukan penjaga perdamaian karena latar belakang negara mereka yang sama dan perilaku Indonesia di Afrika yang dinilai cukup baik. Tidak heran disetiap peran sebagai penjaga perdamaian, Indonesia selalu mendapat penghargaan dari PBB. Bukti lain, hampir tidak pernah terjadi konflik antara Indonesia dengan negara yang sedang dijaga.
Di era pemerintahan Soeharto, kondisi pasukan yang dikirim sebagai KONGA jauh lebih baik. Mengingat kondisi militer saat itu “menganak-emaskan” pasukan darat. Hal ini membuat keterlibatan Indonesia sebagai pasukan penjaga perdamaian terus meningkat. Bahkan hingga saat ini Indonesia telah mengirimkan lebih dari 50 kontingen.
Mengingat peran Indonesia telah sangat baik di Afrika, hal ini membuat popularitas Indonesia di Afrika ikut tinggi. Selain itu, sikap menerima negara-negara Afrika atas kehadiran Indonesia tidak pernah menimbulkan konflik menjadi alasan lain keakraban Indonesia dan Afrika. Berdirinya berbagai organisasi-organisasi internasional yang mempertemukan beberapa negara Afrika dan Indonesia memberikan peluang tersendiri akan kerjasama di bidang pertahanan. Apalagi potensi produksi persenjataan Indonesia sangat menggiurkan.
PT PINDAD selaku industri yang lebih dikenal dengan penjualan peralatan militernya adalah perusahaan dalam negeri yang menjadi sumber utama persenjataan Indonesia bahkan beberapa negara. Diantara negara-negara ini tersebutlah Zimbabwe, Mozambik, dan Nigeria yang notabenenya adalah negara-negara di Afrika. Salah satu kehebatan PT PINDAD adalah mampu memproduksi senjata yang mirip dengan milik Israel. Dan tentu saja dengan harga yang lebih murah. Senapan mesin serbu tipe SS2 merupakan salah satu produk yang diekspor ke negara-negara di Afrika tersebut.
Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang membuat hubungan bilateral Indonesia dengan beberapa negara-negara di Afrika tersendat. Apalagi negara yang sedang berkonflik, baik internal maupun dengan negara lain. Jangan sampai Indonesia terjebak dengan kondisi untuk berpihak ke negara tertentu, sementara Indonesia menerapkan kebijakan luar negeri bebas dan aktif. Apalagi kalau sampai dikaitkan dengan konflik yang sedang terjadi.
Hal lain yang menjadi pemikiran adalah persaingan dengan negara-negara Timur Tengah dan Eropa. Jika dalam masalah teknologi dan kemampuan militer Indonesia mungkin akan kalah. Satu-satunya kesempatan Indonesia adalah harga yang bersaing dan alasan tradisional dengan mengandalkan kedekatan antar negara yang berjalan tanpa konflik. Walaupun hubungan Indonesia dan negara-negara Afrika baik-baik saja, namun tidak memiliki hubungan yang dekat. Apalagi belum banyak perwakilan Indonesia yang berada di Afrika. Rata-rata masih berperan ganda di lebih dari satu negara. Misalnya saja KBRI di Nigeria juga menjadi perwakilan di Ghana, atau belum berdirinya KBRI Malawi dan Indonesia harus diwakili oleh Tanzania. 
PENUTUP
Prospek kerjasama Indonesia dan negara-negara di Afrika memiliki masa depan yang cerah. Hal ini mengingat dari hubungan yang telah cukup lama terjalin ditambah beberapa negara-negara di Afrika memasuki beberapa-beberapa organisasi yang Indonesia ikut berada didalamnya. Selain masalah latar belakang negara pada era kolonialisme yang hampir sama, negara-negara di Afrika juga menjadi pangsa pasar Indonesia, khususnya peralatan militer yang cukup terjangkau tapi berkualitas.

Namun demikian, kondisi kerjasama antar negara, apalagi dalam aspek militer patut berhati-hati. Jangan sampai terjadi penilaian dunia internasional sebagai negara yang memanfaatkan kondisi penuh konflik di Afrika. Yang akhirnya merepotkan hubungan dengan negara lain, khususnya negara maju. Apalagi jika sampai dikaitkan dengan konflik yang telah terjadi, sedang terjadi, atau yang akan terjadi.