PENDAHULUAN
Pasca pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945, Mesir langsung menindaklanjuti hal ini dengan mengadakan rapat para
menteri Luar Negeri negara-negara anggota Liga Arab. Hal ini berbuntut dengan
dikeluarkannya resolusi pengakuan kemerdekaan RI sebagai negara yang merdeka
dan berdaulat penuh pada tanggal 18 November 1946. Hal ini menjadi salah satu pengakuan de jure pertama Indonesia di mata dunia
Internasional.
Namun, untuk memberitahukan hasil resolusi ini
bukanlah hal yang mudah. Sekjen Liga Arab saat itu mengutus Konsul Jenderal
Mesir di India menuju Indonesia. Akhirnya pada tanggal 15 Maret 1947, setelah
melewati berbagai rintangan dan perjalanan panjang dari Belanda, ia berhasil
masuk dan diterima secara kenegaraan di ibu kota RI saat itu, Yogyakarta.
Tindakan yang dilakukan LIga Arab, khususnya Mesir ini terus dilanjutkan hingga meja Dewan
Keamanan PBB. Hal ini kemudian ditanggapi oleh Indonesia dengan membuka
Perwakilan RI di Mesir.
Tahun
1956, setelah aneksisasi oleh Inggris, Perancis, dan Israel di Mesir, akhirnya
Majelis Umum PBB meminta penarikan pasukan asing tersebut dari Mesir. Indonesia
yang ikut mendukung hal ini kemudian untuk pertama kalinya mengirim Pasukan
Pemelihara Perdamaian PBB ke Mesir, selain sebagai salah satu bentuk balas
budi. Pasukan ini kemudian diberi nama Kontingen Garuda I atau KONGA I.
Melalui
salah satu bentuk kepercayaan yang diberikan oleh PBB ini terus berlanjut
dengan pemgiriman pasukan KONGA II ke Kongo pada tahun 1960 hingga 1961. Khusus
untuk pengiriman pasukan kedua ini, merupakan sebuah awal dari peluang
kerjasama militer yang nantinya akan terjalin antara Indonesia dan beberapa
negara di kawasan Afrika. Apalagi dengan beberapa operasi susulan yang kembali
menempatkan pasukan Indonesia di berbagai negara di Afrika. Misalnya, KONGA X
ke Namibia pada tahun 1989, KONGA XIII ke Somalia pada tahun 1992, KONGA XVI ke
Mozambik pada tahun1994, KONGA XIX ke Sierra Leone pada tahun 1992, KONGA XX ke
Kongo dimulai dari tahun 2003, KONGA XXI di Liberia dimulai dari tahun 2003,
dan terakhir adalah KONGA XXII di Sudan pada tahun 2008.
PEMBAHASAN
Pada
masa jaya militer Indonesia, pemgiriman pasukan sebagai Kontingen garuda bisa
mencapai ribuan personel. Baik dari prajurit, perwira, maupun medis. Misalnya
saja KONGA II yang dikirim ke Kongo mencapai 1.074 personel. Hal ini
dimungkinkan selain karena jumlah pasukan militer Indonesia saat itu yang
terbilang cukup banyak, juga karena Indonesia yang saat itu tengah gencar
mencari perhatian dunia internasional.
Melalui
sektor pertahanan dan keamanan inilah Indonesia pertama kali memiliki nama yang
disegani oleh negara-negara lain. Selain itu, sektor ini turut mendukung
hubungan bilateral dengan negara-negara lain, khususnya negara-negara
berkembang dan negara yang baru saja merdeka saat itu. Indonesia dianggap
sebagai negara yang mampu dijadikan sebagai sahabat baik dengan kemampuan
Indonesia menjamin keamanan di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, apalagi di
dalam negeri sendiri. Berkat rasa hormat dan segan yang dimiliki oleh
Indonesia, menimbulkan kepercayaan diri Indonesia untuk mengusahakan dan
mendorong terbentuknya berbagai organisasi dan konferensi regional dan dunia,
seperti GNB, KAA, Asean, dll. Pembentukan organisasi-organisasi ini semakin
memperkuat sekaligus memperluas jaringan diplomasi Indonesia ke berbagai
negara. Khususnya negara-negara Asia-Afrika.
1. Kondisi
Keamanan di Afrika
Ketika mengasosiasikan sebuah benua yang penuh dengan
konflik, Afrika adalah hal pertama yang akan terbayang. Hal ini tidaklah salah
mengingat konflik yang terjadi dunia sebagian besar adalah milik Afrika. Mulai
dari masalah perbatasan, ekonomi, kesenjangan sosial, kekuasaan dan politik,
etnis dan agama, hingga masalah ideologi. Dan jumlah korban yang ditelan tidak
tanggung-tanggung. Misalnya saja, untuk perang etnis di Rwanda memakan korban
hingga 1 juta lebih korban jiwa.
Perang yang telah ada semenjak ribuan tahun ini telah
terjadi atau masih terjadi di seluruh Afrika. Pelakunya pun terus berubah,
bertambah atau berkurang. Di mulai dari zaman kerajaan yang melibatkan
kerajaan-kerajaan masa lampau, masa kolonialisme melawan bangsa Eropa, hingga
kini menjadi perang sipil antara orang-orang Afrika atau antar negara.
PBB sebagai organisasi dunia yang berperan sebagai
polisi dunia melakukan berbagai upaya dalam membantu pemulihan keamanan dan
stabilitas dalam negeri di berbagai belahan Afrika. Ratusan ribu bahkan jutaan
pasukan penjaga perdamaian telah diturunkan untuk membantu menciptakan kondisi
tersebut. Diantara beberapa negara-negara yang diminta berperan sebagai pasukan
penjaga perdamaian di Afrika adalah Indonesia.
2. Kekuatan Militer
Indonesia Era Soekarno
Salah satu informasi yang cukup sulit dikumpulkan pada
era perjuangan menjaga kemerdekaan adalah jumlah pasukan Indonesia saat itu.
Selain karena memang saat itu Indonesia belum memiliki pasukan resmi, juga
dikhawatirkan jika nantinya akan terjadi kesalahpahaman dengan pihak Belanda
saat itu. Karena jika sampai pasukan nasional mulai dibentuk akan timbul
kekhawatiran orang Belanda yang masih berada di Indonesia dengan adanya kesan
bahwa Indonesia menyiapkan diri untuk memulai serangan kepada pihak sekutu.
Hasilnya adalah BKR baik di pusat maupun di daerah berada
di bawah wewenang KNIP dan KNI Daerah dan tidak berada di bawah perintah
presiden sebagai panglima tertinggi angkatan perang. Selain itu, BKR juga tidak
berada di bawah koordinasi Menteri Pertahanan. BKR hanya disiapkan untuk
memelihara keamanan daerah setempat.
Namun
jumlah pasukan yang nantinya akan menjadi pasukan resmi Republik Indonesia
dapat sedikit diketahui dengan membandingkannya dengan berbagai jenis pasukan
yang dibentuk Jepang dan Belanda. Hal
ini terlihat dari jumlah pasukan Heiho, PETA, dan KNIL. Pada awalnya, Heiho
merupakan pasukan yang dibentuk oleh Jepang sebagai tenaga kasar untuk membantu
Jepang menghadapi pasukan sekutu. Namun seiring terdesaknya Jepang di daerah
sekitar Indonesia, akhirnya Heiho mulai dilatih menggunakan senjata. Bahkan,
Heiho sempat diturunkan di Burma dan Morotai. Pasca kekalahan Jepang, Heiho
yang berjumlah sekitar 42.000 orang saat itu ikut dibubarkan. Sebagian besar
pasukan Heiho saat itu terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hingga akhirnya mantan
anggota-anggota Heiho ini diserap oleh BKR.
PETA merupakan salah satu pasukan yang memiliki latar
belakang pembentukan yang sangat kental dengan nuansa politik. Hal ini dapat
dilihat dengan cara Jepang yang membuat seolah-olah pembentukan pasukan ini
bertujuan untuk melindungi Indonesia, bukan Jepang. Padahal, diketahui bersama
bahwa pembentukan PETA pada tahun 1943 memiliki tujuan utama untuk melindungi
kepentingan Jepang di Indonesia. PETA pasca jatuhnya Jepang ikut dibubarkan
yang kemudian dan sempat tidak dimasukkan kedalam pasukan nasional. Hal ini
terkait dengan ketakutan Sokearno jika tentara PETA akan dijadikan perpanjangan
tangan Jepang. PETA menjadi bagian dari pasukan nasional setelah BKR berganti
menjadi TKR.
Koninklijk Nederlands-Indisch Leger atau KNIL adalah pasukan yang dibentuk pasca Perang
Diponegoro oleh Belanda, tepatnya pada tahun 1826 hingga 1827. 4 Desember 1830,
pasukan ini kemudian menjadi salah satu kesatuan pasukan di Hindia Belanda.
Yang kemudian disahkan secara resmi oleh Raja Belanda saat itu, Willem I pada
tahun 1836. Diperkirakan, pada tahun 1936 jumlah KNIL meningkat melebihi 50.000
orang, dengan sebanyak 33.000 orang atau sekitar 71% adalah warga pribumi.
Setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda pada tahun 1950, jumlah KNIL
saat itu mencapai 60.000 orang.
Setelah seluruh elemen ini
berhasil disatukan dan membentuk pasukan nasional Indonesia, kini Indonesia
memiliki kekuatan militer yang tidak dapat diremehkan. Selama masa kepemimpinan
Soekarno, militer Indonesia termasuk unggul di kawasan Asia. Pembuktian yang
paling terlihat adalah pada Operasi Mandala. Dengan beberapa peralatan yang
dipinjam maupun berhasil dibeli, Indonesia bahkan sempat dianggap sebagai
negara aggressor. Misalnya saja KRI Irian
yang menjadi momok menakutkan bahkan bagi Belanda. Atau kapal carrier milik Uni Soviet yang dipinjam
selama masa pembebasan Irian Barat.
3. Kekuatan Militer
Indonesia Era Soeharto
Agak berbeda dengan pandangan Soekarno yang memperkuat
militer di cabang udara dan laut, Soeharto justru memperkuat pasukan angkatan
darat dengan memberi latihan gabungan dengan pihak asing sesering mungkin atau
terus memperbaharui persenjataan. Tentu saja hal ini tidak lepas dari asal
Soeharto sebagai pasukan darat. Namun, hal yang substansial terkait masalah ini
adalah kondisi dalam negeri saat itu yang memaksa Soeharto. Diketahui bersama
bahwa saat itu, ketika penyerahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto terkait
dengan PKI. Langkah-langkah revolusi yang dilakukan PKI membuat pasukan darat
harus bekerja ekstra keras dan membutuhkan kemampuan tempur serta peralatan
yang jauh lebih baik.
Kemudian pada era Soeharto pasukan nasional Indonesia
menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan di masa inilah
segudang prestasi pasukan darat berhasil dicapai, dalam maupun luar negeri.
Kemudian bermunculanlah pasukan-pasukan khusus seperti KOPASSUS, Baret Hijau, Paskhas,
dll. Di masa ini Indonesia menjadi “Macan Asia” melalui kemampuan militernya. Jumlah
pasukan saat ini bahkan mencapai lebih dari 500.000 personel dengan
persenjataan yang senantiasa diperbaharui khususnya angkatan darat.
4. Kekuatan
Militer Indonesia Era Reformasi
Berakhirnya orde baru membuat kekuasaan Soeharto
turun, yang berarti pasukan darat harus bersiap tidak menjadi kesayangan negara
lagi. Terbukti pada era reformasi pendanaan militer Indonesia turun dari
sekitar US$ 3,3 miliar menjadi US$ 2,5 miliar. Dengan personil di tahun 2009
mencapai 400.000 orang. Selain itu terjadi beberapa kemunduran-kemunduran
kemampuan militer Indonesia. Mulai dari kendaraan tempur yang tidak terawat,
pasukan yang semakin “lemah” jika dibandingkan dengan negara tetangga lain.
Entah dari segi perlengkapannya maupun kemampuan perangnya.
Meskipun terjadi berbagai hal negatif bagi kondisi
militer Indonesia selama masa reformasi, pemerintah terus berusaha meningkatkan
kinerjanya. Melalui janji-janji yang dikeluarkan selama kampanye, para penguasa
berusaha menarik suara rakyat. Walaupun setelah terpilih belum terlihat
perubahan yang signifikan.
5. Peluang dan
Tantangan Hubungan Indonesia dan Afrika dalam Sektor Militer
Tercatat telah
delapan kali Indonesia ikut menyumbangkan bantuan pasukannya sebagai bagian
dari pasukan penjaga perdamaian di Afrika. Mulai dari Kongo, Namibia, Mozambik, Somalia, Sierra
Leone, dan yang terbaru Sudan. Pada masa Soekarno dan Soeharto, KONGA menjadi
kebanggaan dalam negeri yang mampu mendongkrak kepercayaan diri bangsa
Indonesia. jika dilihat dari sudut pandang yang cukup berbeda, Indonesia
menggunakan momen ini untuk memamerkan kekuatan tempur Indonesia di mata dunia
internasional. Hal ini dapat dilihat dengan pengiriman KONGA I yang sangat
beresiko dengan kondisi dalam negeri. Masalahnya, saat itu sedang marak
pemberontakan dan gerakan-gerakan sporadis di Indonesia, mulai dari menuntut
keadilan di pusat hingga kemerdekaan.
Kedatangan KONGA di Afrika mendapat sambutan yang
baik, dari negara-negara Eropa maupun Afrika. Secara psikologis, bagi Eropa hal ini akan membuat mereka mampu
“beristirahat” pasca Perang Dunia dan meringankan beban mereka selama Perang
Dingin. Sementara bagi orang-orang Afrika, Indonesia l;ebih mampu diterima
sebagai pasukan penjaga perdamaian karena latar belakang negara mereka yang
sama dan perilaku Indonesia di Afrika yang dinilai cukup baik. Tidak heran disetiap
peran sebagai penjaga perdamaian, Indonesia selalu mendapat penghargaan dari
PBB. Bukti lain, hampir tidak pernah terjadi konflik antara Indonesia dengan
negara yang sedang dijaga.
Di era pemerintahan Soeharto, kondisi pasukan yang
dikirim sebagai KONGA jauh lebih baik. Mengingat kondisi militer saat itu
“menganak-emaskan” pasukan darat. Hal ini membuat keterlibatan Indonesia
sebagai pasukan penjaga perdamaian terus meningkat. Bahkan hingga saat ini
Indonesia telah mengirimkan lebih dari 50 kontingen.
Mengingat peran Indonesia telah sangat baik di Afrika,
hal ini membuat popularitas Indonesia di Afrika ikut tinggi. Selain itu, sikap
menerima negara-negara Afrika atas kehadiran Indonesia tidak pernah menimbulkan
konflik menjadi alasan lain keakraban Indonesia dan Afrika. Berdirinya berbagai
organisasi-organisasi internasional yang mempertemukan beberapa negara Afrika
dan Indonesia memberikan peluang tersendiri akan kerjasama di bidang
pertahanan. Apalagi potensi produksi persenjataan Indonesia sangat menggiurkan.
PT PINDAD selaku industri yang lebih dikenal dengan
penjualan peralatan militernya adalah perusahaan dalam negeri yang menjadi
sumber utama persenjataan Indonesia bahkan beberapa negara. Diantara
negara-negara ini tersebutlah Zimbabwe, Mozambik, dan Nigeria yang notabenenya
adalah negara-negara di Afrika. Salah satu kehebatan PT PINDAD adalah mampu
memproduksi senjata yang mirip dengan milik Israel. Dan tentu saja dengan harga
yang lebih murah. Senapan mesin serbu tipe SS2 merupakan salah satu produk yang
diekspor ke negara-negara di Afrika tersebut.
Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang membuat
hubungan bilateral Indonesia dengan beberapa negara-negara di Afrika tersendat.
Apalagi negara yang sedang berkonflik, baik internal maupun dengan negara lain.
Jangan sampai Indonesia terjebak dengan kondisi untuk berpihak ke negara
tertentu, sementara Indonesia menerapkan kebijakan luar negeri bebas dan aktif.
Apalagi kalau sampai dikaitkan dengan konflik yang sedang terjadi.
Hal lain yang menjadi pemikiran adalah persaingan
dengan negara-negara Timur Tengah dan Eropa. Jika dalam masalah teknologi dan
kemampuan militer Indonesia mungkin akan kalah. Satu-satunya kesempatan
Indonesia adalah harga yang bersaing dan alasan tradisional dengan mengandalkan
kedekatan antar negara yang berjalan tanpa konflik. Walaupun hubungan Indonesia
dan negara-negara Afrika baik-baik saja, namun tidak memiliki hubungan yang
dekat. Apalagi belum banyak perwakilan Indonesia yang berada di Afrika. Rata-rata
masih berperan ganda di lebih dari satu negara. Misalnya saja KBRI di Nigeria
juga menjadi perwakilan di Ghana, atau belum berdirinya KBRI Malawi dan
Indonesia harus diwakili oleh Tanzania.
PENUTUP
Prospek kerjasama Indonesia dan negara-negara di
Afrika memiliki masa depan yang cerah. Hal ini mengingat dari hubungan yang
telah cukup lama terjalin ditambah beberapa negara-negara di Afrika memasuki
beberapa-beberapa organisasi yang Indonesia ikut berada didalamnya. Selain
masalah latar belakang negara pada era kolonialisme yang hampir sama,
negara-negara di Afrika juga menjadi pangsa pasar Indonesia, khususnya
peralatan militer yang cukup terjangkau tapi berkualitas.
Namun demikian, kondisi kerjasama antar negara,
apalagi dalam aspek militer patut berhati-hati. Jangan sampai terjadi penilaian
dunia internasional sebagai negara yang memanfaatkan kondisi penuh konflik di
Afrika. Yang akhirnya merepotkan hubungan dengan negara lain, khususnya negara
maju. Apalagi jika sampai dikaitkan dengan konflik yang telah terjadi, sedang
terjadi, atau yang akan terjadi.