Sunday 18 September 2011

(ilmu) Appeasement atau Penentraman

Penentraman atau diplomasi untuk memenuhi keinginan negara aggresor adalah diplomasi luar negeri yang paling menyulitkan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa dengan mengabulkan permintaan negara-negara agresor maka akan menghindari konflik dan mencegah pecahnya perang. Kelemahan dari pendekatan ini ada pada fakta bahwa begara aggressor jarang merasa puas begitu saja melalui jalur ini. Menyerah pada keinginan negara-negara ini hanya akan memenuhi hasrat berkuasa mereka dan membuat mereka menjadi lebih kuat dan ambisius. Dalam jangka panjang, kebijakan seperti ini hanya akan menambah resiko perang bukannya menguranginya.

Inggris dan Perancis mengikuti kebijakan appeasement dengan Adolf Hitler sepanjang tahun 1930an. Hitler bahkan tidak pernah merahasiakan tujuannya yang sangat ekspansionis dan rasis di Eropa. Tujuannya bahkan sangat jelas dia utarakan dalam bukunya Mein Kampf. Pada akhir 1930an dia menggerakkan propaganda melawan pemerintahan Cekoslowakia, mengklaim bahwa mereka telah mengganggu Sudeten Germans (etnis Jerman yang tinggal di wilayah Cekoslowakia). Ada sedikit kebenaran dalam klaim ini. Sudeten Germans dikeluarkan dari posisinya di pemerintahan karena alasan bahasa dan banyak Sudeten Germans yang tidak bahagia karena diskriminasi ini. Hitler memanfaatkan situasi ini untuk mendorong kegelisahan di antara Sudeten Germans. Konsekuensinya, dia meminta Sudetenland (wilayah Sudeten Germans) diserahkan kepada Jerman. Tentu saja hal ini tidak diterima oleh orang-orang Ceko. Tapi Hitler terus melanjutkan tekananannya kepada pemerintahan Cekoslowakia. Wilayah barat Eropa berharap bisa menghindari Perang Eropa lainnya, mendorong diadakannya konferensi internasional untuk menyelesaikan masalah ini. Pada 30 September 1938 Kesepakatan Munich ditandatangani dan kendali atas Sudetenland diserahkan kepada Jerman, dengan Inggris dan Perancis yang akan menjamin keamanan batas baru wilayah ini. Hitler juga berjanji tidak akan berperang melawan Inggris. Enam bulan kemudian Hitler menginvasi Cekoslowakia dan menguasai seluruh negara ini.

Sebagai konsekuensi Kesepakatan Munich, Hitler mengumpulkan kekuatannya ke bagian timur Eropa dan menginvasi Polandia di tahun berikutnya. Secara jelas, kebijakan appeasement kepada Hitler telah gagal total. Bukannya mencegah perang di Eropa, Kesepakatan Munich justru yang memungkinkannya dengan menggeser perimbangan kekuatan ke arah Jerman. Seandainya wilayah Barat telah bersiap berperang untuk melindungi Cekoslowakia melawan Jerman, perang skala besar kemungkinan dapat dihindari. Meskipun ini hanya dugaan. Tapi tidak dapat dipungkiri pendudukan Sudetenland membuat Hitler menjadi lawan yang lebih tangguh dari semestinya.

Pesan yang dapat ditarik oleh pembuat kebijakan dan para cendikiawan dari kejadian tidak menyenangkan ini adalah komunitas internasional tidak boleh mengakomodasi permintaan tidak masuk akal dan agresif. Melakukannya berarti membolehkan bencana lain. Meskipun untuk kasus Nazi hal ini benar, penting juga untuk tidak mengacuhkan proses mendamaikan atau menenteramkan ini begitu saja. Mungkin saja akan ada kejadian yang membuat appeasement menjadi pilihan kebijakan yang tepat. Mungkin saja akan ada kondisi suatu negara mengeluh secara sah sesuai hukum dan harus didengar dan diakomodasi. Salah satu bahaya mengabaikan kemungkinan pengakomodasian dan pendamaian adalah akan menambah kemungkinan mispersepsi dan menghabiskan pilihan negara selain berperang. Lebih lanjut, kini ada tendensi elit pemerintahan untuk menggunakan Kesepakatan Munich sebagai contoh untuk melindungi kebijakan agresif mereka sendiri. Bukan hal yang kebetulan ketika Amerika Serikat menggunakan Kesepakatan Munich untuk memebenarkan turut campur tangannya di Irak dan Yugoslavia pada 1990an.  Tapi penting juga untuk tidak terbuai retorika yang membuat appeasement sebagai pilihan berbahaya. Suatu kebijakan digolongkan sebagai appeasement tergantung konteksnya. Setiap kasus harus dievaluasi secara terpisah.

Tuesday 2 August 2011

(ilmu) Anarchy atau Anarki

Dalam penggunaan sehari-hari istilah ini menggambarkan kekacauan, kekerasan, dan tidak adanya hukum. Berasal dari bahasa Yunani anarkhos, yang artinya ‘tanpa penguasa’, kondisi anarki terjadi ketika tidak ada pemerintahan yang menjaga perdamaian. Anarki biasanya diasosiasikan dengan masa kekacauan dalam revolusi dan kondisi sosial dan politik yang ekstrim. Beberapa pembuat film fiksi senang menggunakan konsep ini untuk menggambarkan masa depan umat manusia. Dalam hal ini anarki diartikan menjadi lawan dari berbagai kehidupan berbudaya yang menggambarkan secara ekstrim pesimisme terhadap potensi di diri manusia.

Mahasiswa Politik Internasional menggunakan istilah ini lebih spesifik. Politik internasional disebut anarkis karena tidak adanya negara atau koalisi antar negara yang memiliki kendali penuh terhadap sistem. Tidak ada pemerintahan pusat, menjadikan hal yang unik dari aktor di dalam sistem internasional adalah mereka negara berdaulat yang otonom, yang bertanggung jawab atas nasib mereka masing-masing meskipun mereka tidak mengendalikannya. Mereka menggunakan kuasa dan kendali yang sah atas wilayah masing-masing dan tidak tunduk kepada siapapun. Mereka sendiri yang menentukan kapan berperang, berdamai, dan bergerak bersama negara lain.

Thomas Hobbes adalah filsuf politik modern pertama yang menjelaskan hubungan internasional itu anarkis. Meskipun filosofi politiknya sebenarnya fokus kepada aturan dalam pemerintahan, tapi deskripsinya atas sifat alamiah dunia internasional telah memberi dampak yang besar bagi perkembangan teori hubungan internasional. Hobbes menggunakan pemikiran (yang biasanya disebut ‘domestic analogy’) bahwa kondisi alami suatu negara untuk menunjukkan kepada individu yang berakal kenapa mereka harus hidup dibawah aturan dan kekuasaan tertinggi yang absolut daripada hidup dalam kondisi tanpa aturan.

Ditambahkan, kondisi alami negara penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dimana individu-individunya berjuang hidup. Tidak peduli seberapa kuat dan berkuasa, mereka ridak mampu secara utuh melindungi diri mereka dari serangan. Dalam kondisi ini, tidak aka nada waktu bersantai, bersosialisasi, atau tindakan beradab lainnya. Hidup yang menurut Hobbes ‘kotor, kasar, dan singkat’ akan dihabiskan untuk mengungguli lawan hanya demi bertahan hidup. Hubungan ini sangat mengekang sehingga mendorong individu-individu secara rela untuk untuk melepaskan kebebasan dan hak mereka demi perlindungan dan keamanan dari individu lainnya. Kebebasan dan hak ini mereka berikan kepada ‘sang penguasa’ atau Leviathan yang sebagai gantinya menjaga individu-individu ini.

Sangat mudah untuk melihat bagaimana pra-kondisi sosial ini diterapkan dalam hubungan internasional, khususnya bagi para realis. Mereka beranggapan ketidakhadiran penguasa tertinggi yang mampu mendorong aturan diatas sistem yang berlaku menjadikan negara yang dasarnya individual berada dalam kondisi tidak aman dan harus siap untuk melakukan apapun demi bertahan hidup dalam lingkungan berbahaya ini. ini menjadi salah satu alasan kenapa hubungan antara anarki dan perang sangat dekat.

Kini, realis menginterpretasikan konsekuensi anarki dalam hubungan internasional lebih bervariasi dan penuh pertentangan atau perdebatan dalam teori internasional. Beberapa liberal internasionalis setuju bahwa anarki itu penting, tapi menganggap realis melebih-lebihkan dampaknya dalam sikap suatu negara. Sama halnya dengan konstruktivis yang menerima anarkis sebagai kondisi karakteristik sistem internasional, tapi jika hanya sendiri maka tidak ada artinya. Sebagai contoh, anarki dari teman akan berbeda dengan anarki dari musuh, walaupun keduanya sama-sama bisa terjadi. Singkatnya, sifat dan dampak anarki antar negara tergantung pada tingkat analisa masing-masing yang saling berbeda satu dengan yang lain tergantung fokus teorinya, dan sejauh mana pembenaran karakter dan hubungan antara level yang berbeda.

Thursday 28 July 2011

(ilmu) Alliance atau Aliansi

Ialah kesepakatan antara dua negara atau lebih untuk bekerja dalam isu keamanan yang saling menguntungkan. Negara masuk ke dalam salah satu bentuk kerjasama ini untuk melindungi diri mereka dari ancaman bersama (termasuk dugaan). Dengan menyelaraskan sumber daya mereka dan bergerak seiring jalan, negara-negara di dalamnya percaya mereka bisa meningkatkan posisi kekuatan mereka dalam sistem internasional dan dengan hubungan ke negara di luar aliansi mereka. Aliansi bisa berbentuk formal maupun informal. Aliansi formal diakui oleh publik melalui penandatanganan hitam di atas putih yang isinya biasanya menganggap serangan ke salah satu dari mereka artinya serangan untuk negara-negara anggota lainnya. Misalnya NATO. Aliansi informal lebih longgar dan tidak mengikat sehingga kurang stabil dan biasanya hanya mengacu kepada perkataan perwakilan negara masing-masing atau kerjasama yang sedang berjalan. Biasanya yang masuk dalam sini adalah latihan militer bersama, berbagi informasi strategis, atau janji membantu dalam kondisi krisis. Aliansi informal bisa juga dalam bentuk perjanjian rahasia antar pemimpin.

Aliansi memiliki banyak keuntungan. Pertama, dari segi ongkos pertahanan. Akan lebih murah untuk beraliansi dengan negara dengan kekuatan militer besar apalagi yang punya kekuatan nuklir, dibanding memiliki dan mengembangkan sendiri nuklir. Ini menyebabkan aliansi lebih menarik minat negara-negara kecil yang lemah. Kedua, aliansi bisa meningkatkan keuntungan ekonomi melalui arus perdagangan, bantuan, dan pinjaman antar negara anggota. Penempatan personel militer asing juga bisa meningkatkan ekonomi lokal, seperti di Okinawa.

Dari sudut pandang negara besar, aliansi memberikan mereka keuntungan strategis pada musuh maupun yang baru sebagai potensi. Amerika Serikat misalnya yang sejak tahun 1945 masuk ke dalam berbagai aliansi untuk mendapatkan hak pendaratan pasukan, akses ke pelabuhan, dan penggunaan fasilitas militer di berbagai wilayah periperi pecahan Uni Soviet. Oleh karena itu aliansi membantu menutup pergerakan musuh dan mengendalikan wilayah dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Aliansi juga dapat digunakan sebagai alat hegemoni kepada suatu negara, dan membuat mereka berpihak pada isu tertentu.

Umur aliansi beragam. Ada yang bertahun-tahun, yang biasanya dipicu dengan pandangan akan suatu ancaman jangka panjang, kesamaan sistem politik anggotanya, atau keberadaan suatu negara besar. Aliansi lainnya biasanya berlangsung cepat. Aliansi Raksasa Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet misalnya. Bertahan hanya selama Hitler masih menjadi ancaman. Segera setelah kekalahan Jerman pada Perang Dunia II, aliansi pun berakhir. Suatu negara juga bisa keluar dari aliansi jika dirasa tujuan sudah tidak sejalan atau anggota aliansi lainnya tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Pergantian kepemimpinan dan ideologi juga bisa menjadi faktor yang menghapus aliansi.

Liberal Internasionalis, Immanuel Kant menyebutkan bahwa aliansi sebagai sumber konflik antar negara. Pasca Perang Dunia I, Presiden AS Woodrow Wilson menyatakan bahwa aliansi menarik negara ke dalam jaring tipu daya dan persaingan. Di sisi lain, realis cenderung menganggap aliansi dibentuk atas dasar kepentingan nasional masing-masing negara. Perubahan dalam kepentingan nasional dapat dan akan mendorong negara-negara berpikir ulang terhadap aliansi mereka. Aliansi harus dilihat sebagai kerjasama yang sangat fleksibel yang dapat memainkan peran penting dalam perimbangan kekuatan (balance of power).

Penting untuk mengetahui aliansi tidak sekedar perjanjian keamanan yang menguntungkan bagi negara cinta damai saja. Aliansi bisa juga digunakan untuk mendorong agresi. Aliansi Jerman, Italia, Jepang pada Perang Dunia II misalnya. Lebih lanjut, aliansi bisa menjadi alat pendorong kebijakan luar negeri. Misalnya aliansi antar dua negara dipandang oleh negara ketiga sebagai ancaman, maka aliansi akan mendorong perlombaan senjata. Ini menjadi salah satu alasan negara seperti Swedia dan Swiss bertahan dengan kebijakan netral dan tidak berpihak di Eropa.