Penentraman atau
diplomasi untuk memenuhi keinginan negara aggresor adalah diplomasi luar negeri
yang paling menyulitkan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa dengan mengabulkan
permintaan negara-negara agresor maka akan menghindari konflik dan mencegah
pecahnya perang. Kelemahan
dari pendekatan ini ada pada fakta bahwa begara aggressor jarang merasa puas begitu
saja melalui jalur ini. Menyerah pada keinginan negara-negara ini hanya akan
memenuhi hasrat berkuasa mereka dan membuat mereka menjadi lebih kuat dan
ambisius. Dalam jangka panjang, kebijakan seperti ini hanya akan menambah
resiko perang bukannya menguranginya.
Inggris dan Perancis
mengikuti kebijakan appeasement dengan Adolf Hitler sepanjang tahun 1930an. Hitler
bahkan tidak pernah merahasiakan tujuannya yang sangat ekspansionis dan rasis
di Eropa. Tujuannya bahkan sangat jelas dia utarakan dalam bukunya Mein Kampf.
Pada akhir 1930an dia menggerakkan propaganda melawan pemerintahan
Cekoslowakia, mengklaim bahwa mereka telah mengganggu Sudeten Germans (etnis
Jerman yang tinggal di wilayah Cekoslowakia). Ada sedikit kebenaran dalam klaim
ini. Sudeten Germans dikeluarkan dari posisinya di pemerintahan karena alasan
bahasa dan banyak Sudeten Germans yang tidak bahagia karena diskriminasi ini.
Hitler memanfaatkan situasi ini untuk mendorong kegelisahan di antara Sudeten
Germans. Konsekuensinya, dia meminta Sudetenland (wilayah Sudeten Germans)
diserahkan kepada Jerman. Tentu saja hal ini tidak diterima oleh orang-orang
Ceko. Tapi Hitler terus melanjutkan tekananannya kepada pemerintahan
Cekoslowakia. Wilayah barat Eropa berharap bisa menghindari Perang Eropa
lainnya, mendorong diadakannya konferensi internasional untuk menyelesaikan
masalah ini. Pada 30 September 1938 Kesepakatan Munich ditandatangani dan
kendali atas Sudetenland diserahkan kepada Jerman, dengan Inggris dan Perancis
yang akan menjamin keamanan batas baru wilayah ini. Hitler juga berjanji tidak
akan berperang melawan Inggris. Enam bulan kemudian Hitler menginvasi Cekoslowakia
dan menguasai seluruh negara ini.
Sebagai konsekuensi
Kesepakatan Munich, Hitler mengumpulkan kekuatannya ke bagian timur Eropa dan
menginvasi Polandia di tahun berikutnya. Secara jelas, kebijakan appeasement
kepada Hitler telah gagal total. Bukannya mencegah perang di Eropa, Kesepakatan
Munich justru yang memungkinkannya dengan menggeser perimbangan kekuatan ke
arah Jerman. Seandainya wilayah Barat telah bersiap berperang untuk melindungi
Cekoslowakia melawan Jerman, perang skala besar kemungkinan dapat dihindari.
Meskipun ini hanya dugaan. Tapi tidak dapat dipungkiri pendudukan Sudetenland
membuat Hitler menjadi lawan yang lebih tangguh dari semestinya.
Pesan yang dapat
ditarik oleh pembuat kebijakan dan para cendikiawan dari kejadian tidak
menyenangkan ini adalah komunitas internasional tidak boleh mengakomodasi
permintaan tidak masuk akal dan agresif. Melakukannya berarti membolehkan
bencana lain. Meskipun untuk kasus Nazi hal ini benar, penting juga untuk tidak
mengacuhkan proses mendamaikan atau menenteramkan ini begitu saja. Mungkin saja
akan ada kejadian yang membuat appeasement menjadi pilihan kebijakan yang
tepat. Mungkin saja akan ada kondisi suatu negara mengeluh secara sah sesuai
hukum dan harus didengar dan diakomodasi. Salah satu bahaya mengabaikan
kemungkinan pengakomodasian dan pendamaian adalah akan menambah kemungkinan
mispersepsi dan menghabiskan pilihan negara selain berperang. Lebih lanjut,
kini ada tendensi elit pemerintahan untuk menggunakan Kesepakatan Munich sebagai
contoh untuk melindungi kebijakan agresif mereka sendiri. Bukan hal yang
kebetulan ketika Amerika Serikat menggunakan Kesepakatan Munich untuk
memebenarkan turut campur tangannya di Irak dan Yugoslavia pada 1990an. Tapi penting juga untuk tidak terbuai retorika
yang membuat appeasement sebagai pilihan berbahaya. Suatu kebijakan digolongkan
sebagai appeasement tergantung konteksnya. Setiap kasus harus dievaluasi secara
terpisah.
No comments:
Post a Comment