Terorisme
berasal dari kata terrere atau terror (latin), yang berarti
membuat rasa takut yang mencekam; keadaan yang menakutkan; kegentaran. Teror
sebagai kata benda mempunyai arti sebuah ketakutan yang amat sangat (extreme
fear); kemampuan untuk menimbulkan ketakutan. Dalam bentuk kata kerja
transitif, terrorize artinya
mengancam atau memaksa dengan teror atau dengan ancaman teror (to intimidate
or coerce by terror or by threats of terror). Didalam kamus Webster’s
New School and Office Dictionary, disebutkan bahwa teror memang terkait
dengan dengan kepentingan kekuasaan atau politik. Teror (kata sifat) dijelaskan
sebagai penggunaan kekerasan secara sistematis. Seperti pembunuhan yang
dilakukan sekelompok atau segolongan orang untuk memelihara, menegakkan, atau
mengurus kekuasaan, mempromosikan kebijakan politik, dan lain-lain. Sedangkan
yang dimaksud dengan terorisme (kata kerja) adalah upaya-upaya yang dapat
menimbulkan teror.
Seiring
dengan perkembangan jaman dan teknologi, para teroris kemudian ikut
menyesuaikan diri dengan alat-alat dan fasilitas yang tersedia. Pada mulanya,
para teroris melakukan aksi teroris dengan penculikan, penyanderaan,
penyelundupan, sabotase, penyerangan bersenjata, dan pembunuhan, namun seiring
dengan perkembangan teknologi, terorisme modern melakukan aksinya dengan
peralatan yang lebih canggih dan berbahaya, serta menimbulkan korban jiwa yang
jauh lebih banyak. Salah satu contoh
penggunaan aksi teror modern ini dapat dilihat pada apa yang dilakukan oleh
teroris Jepang Aum Shirinkyo pada tanggal 20 Maret 1995, di stasiun
kereta api bawah tanah Kasumigaski Tokyo. Mereka menggunakan gas saraf Sarin
yang mengakibatkan 12 orang tewas dan ribuan lainnya luka-luka.
Aksi
terorisme modern juga dapat dilihat pada aksi pembajakan pesawat Boeing 707
rute Roma-Tel Aviv pada tanggal 22 Juli 1968 yang dilakukan oleh PFLP (The
Popular Front for the Liberation of Palestine), hal yang sama terjadi di
Indonesia, ketika pesawat Vickers Ciscount milik Merpati Nusantara Airlines dibajak pada
tanggal 4 April 1971, dan pada tanggal 28 Maret 1981 ketika pesawat DC-9 Woyla
milik Garuda Indonesia dengan rute penerbangan Palembang-Medan dibajak dan
dipaksa mendarat di Penang hingga ke bandara Don Muang di Bangkok. Namun tentu
saja aksi terorisme yang paling menggegerkan dunia internasional adalah tragedi
yang menimpa World Trade Centre di Amerika Serikat pada tanggal 11 September
2001. Semenjak kejadian tersebut, terorisme internasional telah menjadi ancaman
nyata bagi dunia.
Sementara pada
lingkup global, kemajuan teknologi dan penyebaran informasi membuat batas-batas
negara menjadi semakin kabur. Fenomena yang terjadi di suatu negara dapat
diketahui dan berpengaruh terhadap negara lainnya. Hal ini amat berpengaruh terhadap penyebaran
terorisme itu sendiri. Pengaruh yang ingin ditanamkan oleh aksi terorisme
tersebut mendapatkan dukungan penyebaran dari media massa maupun internet.
Hal ini dapat
dilihat pada Tragedi Bom Kuta Bali di Indonesia pada tanggal 12 Oktober 2002,
atau hanya berselang kurang dari setahun Tragedi WTC, dimana korban yang
meninggal adalah mayoritas warga asing. Kemudian pada tanggal 5 Agustus 2003,
dimana bom meledak dan menghancurkan sebagian lobi hotel JW Marriot di Jakarta,
disusul oleh pemboman Kedubes Australia pada tanggal 9 September 2004. Indonesia sebagai negara yang amat heterogen
dari segi kemajemukan penduduk, tentulah amat rawan terhadap dampak yang
ditimbulkan oleh terorisme.
Pasca tragedi
11 September 2001, muncul pertanyaan penting bagaimana merumuskan
langkah-langkah untuk mengantisipasi aksi terror terutama dalam kerangka
perluasan jaringan terorisme internasional berdasarkan paradigma baru.
Meluasnya fenomena perang global terhadap aksi terorisme, yang kemudian lebih
difokuskan pada upaya menumpas jaringan Al Qaeda, juga mengimbas ke kawasan
Asia Tenggara. Fokus perhatian kemudian ditujukan kepada negara-negara di Asia
Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia .
Terorisme,
sebelum tragedi 11 September, bukan merupakan sitilah lazim yang digunakan
negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam merujuk pada kelompok-kelompok
yang menggunakan aksi kekerasan melalui jalan terror, kelompok-kelompok
tersebut lebih dikenal sebagai gerakan separatism
(separatist atau rebellion movement) yang biasanya memiliki tujuan untuk memisahkan
diri dari negara yang berdaulat dan kelompok-kelompok radikal/militan/ekstremis
yang merujuk pada dasar perjuangan yang diambil, baik dari ideologi, agama,
maupun dari etnis tertentu.
Sebuah survey
pernah mencatat bahwa sepanjang tahun 1984-1996, kawasan Asia Tenggara
merupakan kawasan yang paling sedikit mengalami insiden yang berasal dari
gerakan kaum teroris. Jumlah total hanya sekitar 186 insiden, sedangkan di
kawasan Eropa Barat sekitar 2073 insiden, 1621 di Amerika Latin, 1292 di Asia
Barat dan 62 di Afrika[1].
Namun berdasarkan data yang dikeluarkan Kementrian Luar Negeri AS sampai
menjelang tragedi 11 September, tercatat 4 kelompok di kawasan Asia Tenggara
yang dikategorikan sebagai organisasi teroris internasional, yaitu Khmer Merah
dengan basis Kamboja, dan 3 kelompok berbasis Filipina, yaitu Abu Sayyaf Group
(ASG), Alex Boncayao Brigade (ABB) dan New People’s Army (NPA)[2].
Kemudian pada tanggal 5 Oktober 2001, beberapa saat setelah tragedi 11
September, kementrian Luar Negeri AS hanya memasukkan nama Abu Sayyaf sebagai
kelompok teroris asal kawasan Asia Tenggara[3].
Namun,
seiring dengan kemajuan teknologi, terorisme mengalami evolusi. Sebelumnya,
terorisme lebih banyak dikaji dalam low-intensity
conflict, yang umunya berkaitan erat dengan stabilitas domestik sebuah
negara[4].
pada perkembangannya kemudian, terorisme meluas dan melibatkan juga
kelompok-kelompok subnasional dan kelompok primordial dengan membawa elemen
radikalisme (seperti agama atau agenda politik lainnya), yang menciptakan rasa
tidak aman (insecure), tidak hanya pada lingkup domestik, namun juga melampaui
batas-batas wilayah kedaulatan. Hal ini antara lain juga disebabkan oleh
kenyataan bahwa terorisme semakin melibatkan dukungan dan keterlibatan serta
jaringan pihak-pihak dari luar batas sebuah negara.
David C.
Rapoport (2001) menyatakan bahwa terorisme yang mengemuka saat ini merupakan
bagian dari “terrorisme gelombang keempat” (the
fourth wave of terrorism), yang berbeda dari gelombang terorisme terdahulu[5].
Selama ini kurun waktu 1880-an hingga 1920-an, kelompok teroris gelombang
pertama berusaha memenangkan reformasi politik sipil dari pemerintahan
otoriter, seperti pemerintahan Tsar Rusia. Pada masa kelompok teroris gelombang
kedua, yang marak pada kurun waktu 1920-an hingga 1960-an, berkembang
kelompok-kelompok yang berusaha memperjuangkan national self-determination,
seperti Tentara Pembebasan Irlandia Utara. Gelombang ketiga kelompok teroris
mulai muncul tahun 1970-an dengan karakteristik yakni umumnya berideologi kiri
revolusioner seperti Brigade Merah (Red
Brigades) dan Japanese Red Army.
Kelompok teroris gelombang ketiga ini menganggap dirinya sebagai pembela
kepentingan negara dunia ketiga terhadap kekuatan kapitalisme global. Sebagaimana
kelompok teroris generasi ketiga, kelompok terorisme gelombang keempat
digerakkan oleh sebuah keyakinan ideologi tertentu, seperti ideologi
revolusioner atau dorongan relijius.
Hal yang
membedakan kelompok teroris generasi keempat dengan generasi-generasi
sebelumnya adalah bahwa teroris generasi keempat tidak ragu untuk menjadikan
warga sipil sebagai target aksi kekerasannya. Selain itu, karakteristik lain
yang bisa ditambahkan terhadap teroris generasi keempat adalah bahwa kelompok
itu tidak berusaha menguasai wilayah tertentu dan bekerja lebih banyak pada
level global, bukan pada level nasional[6].
kemudian, terror setidaknya bergerak dalam tiga cara[7].
Pertama, ia meniadakan hubungan antara target yang dijadikan kekerasan dengan
alasan penggunaan kekerasan tersebut, karena ia tidak membedakan lagi target combatant dan non-combatant. Kedua, sejak terorisme bisa menyerang siapa saja dan
dimana saja, ia merampas rasa keamanan dan kepastian yang seharusnya dimiliki
oleh setiap masyarakat dan dijamin melalui fungsi paling minimal dari negara,
yakni perlindungan bagi setiap warga negaranya. Terakhir, karena situasi tidak
normal yang ditimbulkannya, aksi terorisme mampu mengubah sebuah masyarakat
yang sedang menangisi korban teror menjadi sebuah masyarakat yang kemudian
menggunakan kekerasan sebagai tindakan balasan.
[1] Wan Ahmad
Farid bin Wan Salleh, “Terrorism in Southeast Asia :
How Real is Threat?”, dalam The Indonesia
Quarterly, vol XXX/1, First Quarter 2002, hal 38
[2] “A list
Of International Terrorist Organizations considered by the U.S. State
Departement to be active during the last five years” diakses dari
http://www.cdi.org/terrorism/terrorist-group.cfm
[3] “Department
of State Report on Foreign Terrorist Organizations Considered by the Office of
the Coordinator for Counter-Terrorism October 5 2001”, lampiran dalam Noam Chomsky,
9-11, (New York ; Seven Stories Press, 2002)
[4] Lihat
misalnya V.K. Sood, “low intensity
conflict ; the source of third-world instability”, dalam studies in conflict and terrorism, vol.
15/4, thn. 1992
[5] Dikutip
dalam Kumar Ramakhrisna, 911, American
Praetorian Unilateralism and the Impact on State-Society Relations In Southeast
Asia – Working Paper, (Singapore :
Institute of Defence and Strategic Studies, 2002,
hal. 4). Lihat juga Roger Medd dan Frank Goldstein, “International Terrorism on
The Eve of A New Millenium”, dalam Studies
in Conlict and Terorism, vol.20/3, thn 1997, hal.281-316.
[6] Lihat
Lawrence Freedman, “A New Type of War”,
dalam K. Booth dan Dunne, T (eds), Worlds
in Collision: Terror and The Future of Global Order, (New York : Palgrave Macmillan, 2002), hal.
37-38
[7] Chaiwat
Satha-Anand, “Mitigating The Success of Terrorism with The Politics of Truth
and Justice”, dalam Uwe Johannen, September
11 and Political Freedom: Asian Perspectives. Singapore : Select Publishing, 2003,
hal. 30-33
No comments:
Post a Comment