Balance
of Power (BoP)
Adalah keadaan dimana terjadi
kestabilan atau equilibrium dalam
bahasa ekonomi diantara kekuatan-kekuatan yang sedang bertikai. Penggunaan
sistem BoP sendiri bertujuan untuk mencegah adanya satu pihak yang terlalu kuat
yang nantinya menjadi sok’ diatas
negara-negara lain. BoP sendiri adalah konsep utama dalam teori neorealist.
Menurut David Hume, penggunaan BoP
telah ada sejak jaman dahulu kala sebagai teori politik maupun pernyataan
praktis. Intinya BoP timbul dari perasaan, dan lahir dari pengalaman dan
insting untuk bertahan hidup. L. Oppenheim memaparkan bahwa equilibrium antara berbagai kekuatan
antar bangsa-bangsa adalah hal yang sangat penting dalam hukum internasional.
Tanpa adanya pihak yang mampu menjadi penengah, hanya sanksi dari suatu
perjanjian atau aturan yang dapat diberikan bagi pihak pelanggar atau disebut
juga hukum internasional. Jika gagal, maka tidak ada yang mampu menghentikan
suatu negara atau bangsa meskipun melanggar hukum dalam mencapai kepentingan
nasionalnya. Machiaveli
berkata,”tidak ada alasan bagi seseorang yang bersenjata untuk takut kepada
yang tidak bersenjata”.
Meskipun BoP telah ada sejak lama,
namun kembali ke permukaan pada abad pertengahan di Eropa. Italia abad ke-15, Francesco Sforza, bangsawan Milan,
adalah penguasa pertama yang menggunakannya. Universalism mendominasi hubungan internasional Eropa sejalan
dengan Perdamaian Westphalia yang membuka jalan bagi doktrin BoP. Kemudian
dijelaskan lagi secara signifikan dalam perjanjian Utrecht tahun 1713 yang
dengan pembahasan yang lebih mendalam.
Barulah pada abad ke17, ketika ilmu
hukum internasional menjelaskan struktur disiplin BoP dibawah Grotius dan para penerusnya yang
mematangkan formula ini dari teori menjadi prinsip fundamental diplomasi. Eropa
kemudian membentuk semacam kelompok hukum yang mengawasi kondisi BoP Eropa,
yang bertujuan agar kedamaian tetap terjaga.
Setelah dirumuskan, BoP menjadi
aksioma ilmu politik oleh FĂ©nelon
yang menjelaskannya kepada Louis muda, duc
de Bourgogne. Frederick the Great,
dalam Anti-Machiavel, menjelaskan BoP kepada dunia dan tahun 1806, oleh Friedrich von Gentz dalam Fragments
of The Balance of Power. Prinsip ini menjadi dasar koalisi antara Louis XIV
dan Napoleon dalam kurun waktu setelah Perdamaian Westphalia (1648) dan Kongres
Vienna (1814). Pada abad ke-19, setelah Revolusi Perancis, prinsip ini kembali
diperkuat yang akhirnya berujung pada pembentukan berbagai aliansi politik.
Separation
of Power
Baron
de Montesquieu menjelaskan bahwa, separation
of power atau pemisahan kekuasaan adalah model atau contoh dari
pemerintahan negara yang demokratis, yang berasal dari ide kuno mengenai
pemerintahan campuran. Kita mengenalnya dengan sebutan Trias Politica. Menurut model ini, negara dibagi menjadi
cabang-cabang yang memiliki wilayah
kekuasaan dan tanggung jawab masing-masing. Normalnya pembagian ini adalah
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Yunani
kuno adalah yang pertama menggunakannya kemudian menyebar
dan ikut digunakan oleh Republik Romawi, bagian dari Konstitusi Republik
Romawi. Pemerintahan Republik Romawi membaginya menjadi tiga, yaitu senat,
legislatif, dan eksekutif. Tugas senat adalah membuat kebijakan –kebijakan yang
berhubungan dengan militer, luar negeri, dan dalam negeri. Senat juga
mengeluarkan perintah kepada pihak eksekutif (yang biasanya dipatuhi). Senat
bukanlah badan legislatif dan tidak mampu melampaui hukum. Legislatif memiliki
dua fungsi. Pertama, memilih anggota eksekutif dari senat dan kedua adalah
mengesahkan hukum dalam negeri. Eksekutif sendiri memiliki fungsi dalam memberi
perintah terhadap pihak militer, menegakkan hukum, dan sebagai hakim agung.
Disnilah dikenal sistem check &
balance untuk mencegah adanya akumulasi kekuasaan dalam satu pihak.
Pendukung sistem ini menganggap bahwa
trias politica melindungi kebebasan
dan demokrasi, dengan menghindari tirani. Sementara yang menolak mempertanyakan
apakah sistem ini benar-benar melindungi kebebasan. Mereka mengkhawatirkan
sistem ini justru memperlambat proses pemerintahan, memberikan kekuasaan yang
berlebihan dan tidak bertanggung jawab kepada eksekutif, hingga meminggirkan
(memarginalkan) legislatif
Demokrasi parlementer tidak memiliki
pemisahan kekuasaan yang jelas. Eksekutif dan kabinet diambil dari parlemen.
Ini adalah prinsip pemerintahan yang bertanggung jawab. Tapi, meskipun
legislatif dan eksekutif saling berhubungan, dalam sistem parlementer biasanya
ada judikatif yang terpisah secara mandiri.
Tidak ada sistem demokrasi di dunia
ini yang memisahkan kekuasaan secara absolut ataupun yang tidak. Meskipun
demikian, beberapa sistem secara jelas menggunakan prinsip pemisahan kekuasaan,
sementara ada juga dengan menyatukannya atau fusion of powers. Jadi sistem separation
of power lebih condong kepada sistem presidensial, sedangkan untuk fusion of power adalah sistem
parlementer. Sementara sistem campuran yang berada di tengah-tengah kita bisa
ambil contoh pada Prancis.
Division
of power
Memiliki makna yang mirip dengan separation of power karena juga terbagi
ke dalam tiga cabang trias politica,
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bedanya adalah kalau dalam sistem separation of power dilarang antar
cabang kekuasaan saling mengganggu, pada sistem division of power hal tersebut boleh saja terjadi. Negara kita
adalah contohnya. Presiden selaku pihak eksekutif memiliki kekuasaan dalam
memperkenalkan atau mengajukan undang-undang baru, tetapi DPR/MPR sebagai pihak
legislatif berhak untuk mengesahkan atau tidak undang-undang tersebut. Tentu
saja saat inilah peran partai menjadi penting dalam merebut ‘kursi’
sebanyak-banyaknya atau melalui konsolidasi dengan partai lain. MPR sendiri
setelah Orba tidak memiliki banyak fungsi. Hal ini dapat kita lihat dalam
peran-perannya yang telah diambil oleh DPR. Indonesia sendiri sepertinya
mempertahankannya sebagai tradisi saja.
No comments:
Post a Comment