Wednesday 28 July 2010

(ilmu) BoP, SoP, DoP

Balance of Power (BoP)
            Adalah keadaan dimana terjadi kestabilan atau equilibrium dalam bahasa ekonomi diantara kekuatan-kekuatan yang sedang bertikai. Penggunaan sistem BoP sendiri bertujuan untuk mencegah adanya satu pihak yang terlalu kuat yang nantinya menjadi sok’ diatas negara-negara lain. BoP sendiri adalah konsep utama dalam teori neorealist.
            Menurut David Hume, penggunaan BoP telah ada sejak jaman dahulu kala sebagai teori politik maupun pernyataan praktis. Intinya BoP timbul dari perasaan, dan lahir dari pengalaman dan insting untuk bertahan hidup. L. Oppenheim memaparkan bahwa equilibrium antara berbagai kekuatan antar bangsa-bangsa adalah hal yang sangat penting dalam hukum internasional. Tanpa adanya pihak yang mampu menjadi penengah, hanya sanksi dari suatu perjanjian atau aturan yang dapat diberikan bagi pihak pelanggar atau disebut juga hukum internasional. Jika gagal, maka tidak ada yang mampu menghentikan suatu negara atau bangsa meskipun melanggar hukum dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Machiaveli berkata,”tidak ada alasan bagi seseorang yang bersenjata untuk takut kepada yang tidak bersenjata”.
            Meskipun BoP telah ada sejak lama, namun kembali ke permukaan pada abad pertengahan di Eropa. Italia abad ke-15, Francesco Sforza, bangsawan Milan, adalah penguasa pertama yang menggunakannya. Universalism mendominasi hubungan internasional Eropa sejalan dengan Perdamaian Westphalia yang membuka jalan bagi doktrin BoP. Kemudian dijelaskan lagi secara signifikan dalam perjanjian Utrecht tahun 1713 yang dengan pembahasan yang lebih mendalam.
            Barulah pada abad ke17, ketika ilmu hukum internasional menjelaskan struktur disiplin BoP dibawah Grotius dan para penerusnya yang mematangkan formula ini dari teori menjadi prinsip fundamental diplomasi. Eropa kemudian membentuk semacam kelompok hukum yang mengawasi kondisi BoP Eropa, yang bertujuan agar kedamaian tetap terjaga.
            Setelah dirumuskan, BoP menjadi aksioma ilmu politik oleh FĂ©nelon yang menjelaskannya kepada Louis muda, duc de Bourgogne. Frederick the Great, dalam Anti-Machiavel, menjelaskan BoP kepada dunia dan tahun 1806, oleh Friedrich von Gentz dalam Fragments of The Balance of Power. Prinsip ini menjadi dasar koalisi antara Louis XIV dan Napoleon dalam kurun waktu setelah Perdamaian Westphalia (1648) dan Kongres Vienna (1814). Pada abad ke-19, setelah Revolusi Perancis, prinsip ini kembali diperkuat yang akhirnya berujung pada pembentukan berbagai aliansi politik.

Separation of Power
            Baron de Montesquieu menjelaskan bahwa, separation of power atau pemisahan kekuasaan adalah model atau contoh dari pemerintahan negara yang demokratis, yang berasal dari ide kuno mengenai pemerintahan campuran. Kita mengenalnya dengan sebutan Trias Politica. Menurut model ini, negara dibagi menjadi cabang-cabang  yang memiliki wilayah kekuasaan dan tanggung jawab masing-masing. Normalnya pembagian ini adalah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Yunani kuno adalah yang pertama menggunakannya kemudian  menyebar  dan ikut digunakan oleh Republik Romawi, bagian dari Konstitusi Republik Romawi. Pemerintahan Republik Romawi membaginya menjadi tiga, yaitu senat, legislatif, dan eksekutif. Tugas senat adalah membuat kebijakan –kebijakan yang berhubungan dengan militer, luar negeri, dan dalam negeri. Senat juga mengeluarkan perintah kepada pihak eksekutif (yang biasanya dipatuhi). Senat bukanlah badan legislatif dan tidak mampu melampaui hukum. Legislatif memiliki dua fungsi. Pertama, memilih anggota eksekutif dari senat dan kedua adalah mengesahkan hukum dalam negeri. Eksekutif sendiri memiliki fungsi dalam memberi perintah terhadap pihak militer, menegakkan hukum, dan sebagai hakim agung. Disnilah dikenal sistem check & balance untuk mencegah adanya akumulasi kekuasaan dalam satu pihak.
            Pendukung sistem ini menganggap bahwa trias politica melindungi kebebasan dan demokrasi, dengan menghindari tirani. Sementara yang menolak mempertanyakan apakah sistem ini benar-benar melindungi kebebasan. Mereka mengkhawatirkan sistem ini justru memperlambat proses pemerintahan, memberikan kekuasaan yang berlebihan dan tidak bertanggung jawab kepada eksekutif, hingga meminggirkan (memarginalkan) legislatif
            Demokrasi parlementer tidak memiliki pemisahan kekuasaan yang jelas. Eksekutif dan kabinet diambil dari parlemen. Ini adalah prinsip pemerintahan yang bertanggung jawab. Tapi, meskipun legislatif dan eksekutif saling berhubungan, dalam sistem parlementer biasanya ada judikatif yang terpisah secara mandiri.
            Tidak ada sistem demokrasi di dunia ini yang memisahkan kekuasaan secara absolut ataupun yang tidak. Meskipun demikian, beberapa sistem secara jelas menggunakan prinsip pemisahan kekuasaan, sementara ada juga dengan menyatukannya atau fusion of powers. Jadi sistem separation of power lebih condong kepada sistem presidensial, sedangkan untuk fusion of power adalah sistem parlementer. Sementara sistem campuran yang berada di tengah-tengah kita bisa ambil contoh pada Prancis.


Division of power

            Memiliki makna yang mirip dengan separation of power karena juga terbagi ke dalam tiga cabang trias politica, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bedanya adalah kalau dalam sistem separation of power dilarang antar cabang kekuasaan saling mengganggu, pada sistem division of power hal tersebut boleh saja terjadi. Negara kita adalah contohnya. Presiden selaku pihak eksekutif memiliki kekuasaan dalam memperkenalkan atau mengajukan undang-undang baru, tetapi DPR/MPR sebagai pihak legislatif berhak untuk mengesahkan atau tidak undang-undang tersebut. Tentu saja saat inilah peran partai menjadi penting dalam merebut ‘kursi’ sebanyak-banyaknya atau melalui konsolidasi dengan partai lain. MPR sendiri setelah Orba tidak memiliki banyak fungsi. Hal ini dapat kita lihat dalam peran-perannya yang telah diambil oleh DPR. Indonesia sendiri sepertinya mempertahankannya sebagai tradisi saja.

No comments:

Post a Comment